Namanya Wahyu, 28 tahun, mantan gamer, mantan pemuja forum gelap, dan mantan anggota grup Facebook yang—kalau disebutkan namanya saja sudah bikin alis naik. “Fantasi Sedarah.” Iya, benar. Grup yang isinya konten menyimpang dan mengkhawatirkan, tapi anehnya punya ribuan anggota aktif. Wahyu bukan siapa-siapa di grup itu. Hanya satu dari ribuan akun yang terseret, tergoda, lalu... tersadar.
Yang bikin Wahyu beda adalah satu hal: dia berani cabut. Nggak cuma cabut, tapi juga bercerita. Apa yang dia alami, kenapa dia sampai bisa masuk ke grup tersebut, dan—yang paling penting—bagaimana dia bisa keluar dengan kepala tegak, membawa pemahaman baru soal pentingnya literasi digital. Ini bukan cerita penghakiman. Ini cerita pengingat. Dan bisa jadi, ini cermin buat kita semua.
Awal Mula: Ketika Rasa Penasaran Tak Didampingi Filter Logika
Wahyu mengaku awalnya hanya iseng. Ia melihat tangkapan layar dari sebuah grup FB di sebuah forum 9gag lokal. Kontennya absurd, menyimpang, tapi justru bikin penasaran. “Serius ada yang kayak gini di Facebook?” batinnya saat itu. Klik satu link, lalu link lain. Tahu-tahu ia sudah diterima sebagai anggota grup.
Ia mulai aktif menyimak. Bukan karena sepakat, tapi karena... merasa unik. Ironis memang. Di tengah informasi terbuka dan internet secerdas sekarang, justru ada ruang yang isinya konten gelap berjubah ‘komunitas’. Ini bukan sekadar soal algoritma, tapi soal literasi. Ketika kita tidak punya filter, maka yang aneh jadi normal, dan yang menyimpang jadi ‘hiburan’.
Dan di situlah akar masalahnya. Wahyu pelan-pelan menyadari: dia bukan satu-satunya yang terjebak karena penasaran. Ratusan bahkan ribuan orang lain ada di sana bukan karena jahat, tapi karena kosong. Kosong referensi, kosong pemahaman, dan... kosong kontrol diri.
Titik Balik: Ketika Postingan Konyol Jadi Alarm Kewarasan
Yang bikin Wahyu benar-benar sadar bukan karena ada yang menegur atau kontennya makin ekstrem. Justru karena satu postingan ‘nyeleneh’ yang terlalu konyol sampai bikin dia mual. Seseorang di grup menulis narasi fantasi yang menyerempet tindak kriminal nyata, tapi dibumbui emotikon lucu. “Di situ gue mikir, ini udah bukan cuma keblinger. Ini udah gawat.”
Malam itu, Wahyu buka notepad. Ia tulis semua yang dirasa janggal sejak pertama masuk grup. Semua perasaan, semua kejanggalan yang selama ini ia maklumi. Ia menangis, bukan karena sedih. Tapi karena merasa malu. Bagaimana mungkin ia yang dulu aktif di komunitas edukatif bisa tergelincir sejauh ini?
Dan di titik itu, ia memutuskan: ini harus berhenti. Ia keluar dari grup. Hapus riwayat pencarian. Bahkan hapus akun Facebook lama yang sudah ‘terkontaminasi’. Lalu, ia mulai lagi dari nol. Tapi kali ini dengan kesadaran yang lebih bulat: internet adalah cermin, dan kita harus pastikan yang terpantul adalah wajah kita yang benar.
Bangkit Lewat Edukasi: Dari Grup Aneh ke Komunitas Belajar
Setelah keluar dari grup itu, Wahyu sempat mengalami semacam ‘gegar digital’. Ia jadi parno buka media sosial. Tapi perlahan, ia pelan-pelan mengisi ulang dunianya. Kali ini, ia mulai ikut grup diskusi literasi digital. Mulai baca lagi buku-buku soal dampak media sosial. Bahkan bikin akun TikTok untuk mengedukasi orang soal ‘filter digital’ secara ringan dan santai.
Salah satu konten viralnya adalah tentang “Cara Mengenali Grup yang Bikin Kamu Bodoh Secara Bertahap”. Videonya ditonton ratusan ribu orang. Ia tidak menyebut nama grup tertentu, tapi cukup banyak yang paham konteksnya. Banyak pula yang mengirim pesan pribadi, mengaku pernah terjebak juga, dan berterima kasih sudah menyuarakan yang mereka rasakan tapi takut katakan.
Dari sinilah Wahyu merasa: kalau luka bisa berubah jadi senjata edukasi, kenapa tidak? Toh, pengalaman pahit hanya jadi trauma kalau tidak pernah dibagi dan dicerna.
Belajar dari Salah Bukanlah Aib, Tapi Tanda Kita Bertumbuh
Yang menarik dari perjalanan Wahyu adalah kejujurannya. Ia tidak berusaha tampil sebagai pahlawan. Ia mengaku bodoh, mengaku salah langkah, dan tidak menyalahkan siapa-siapa. Ia hanya ingin mengajak orang lain buat sedikit lebih sadar: bahwa internet bukan mainan, dan logika bukan pajangan.
Literasi digital bukan soal tahu cara bikin presentasi. Tapi tahu kapan harus scroll, kapan harus berhenti, dan kapan harus uninstall. Kita hidup di zaman di mana algoritma lebih paham keinginan kita ketimbang diri sendiri. Maka dari itu, filter itu harus datang dari dalam. Dari kesadaran. Dari pengalaman—baik maupun buruk.
Dan jika pengalaman buruk bisa kita ubah jadi sinyal peringatan bagi orang lain, maka pengalaman itu bukan sia-sia.
Refleksi Akhir: Internet Itu Cermin, Pastikan Kita Tidak Sedang Menyeringai
Apa yang terjadi pada Wahyu bukan hal langka. Grup seperti Fantasi Sedarah mungkin cuma puncak gunung es dari masalah literasi digital kita hari ini. Tapi dari cerita ini, kita belajar bahwa bahkan dari tempat tergelap pun, seseorang masih bisa berjalan menuju terang. Asal mau jujur, mau refleksi, dan mau keluar.
Kita semua adalah pengguna internet. Dan setiap klik adalah keputusan. Maka sebelum klik, sebelum bergabung, sebelum menyimak... tanya dulu pada diri sendiri: apakah ini membangun atau merusak? Apakah ini mendidik atau menyesatkan? Karena literasi digital bukan cuma tentang skill teknis. Tapi soal kompas moral dan keberanian untuk bilang: “Ini nggak sehat. Aku pergi.”
Akhirnya, kisah Wahyu adalah pengingat hangat bahwa kita bukan korban teknologi. Kita hanya lupa jadi tuan rumah yang baik untuk diri sendiri. Dan kini saatnya kembali pegang kendali, dengan cara sederhana: sadar, berpikir, dan berani.